Rabu, 06 Februari 2013

perpajakan


Proses Pemungutan PPN dan PPnBM
PPN dan PPnBM merupakan Pajak Tidak Langsung, yang pemungutannya dilakukan secara tidak langsung kepada penanggung pajak, melainkan melalui sumbernya, atau melalui pihak ketiga yaitu yang menyerahan BKP atau JKP.
Pihak yang menyerahkan BKP atau JKP disebut PKP sebelum menjadi PKP, mereka adalah pengusaha yang menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, melakukan usaha jasa, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar negeri, atau memanfaatkan jasa dari luar negeri. Oleh karena itu dikenal:
1.      PKP PPN Barang;
2.      PKP PPN Impor;
3.      PKP PPN Ekspor;
4.      PKP PPN Pedagang Eceran;
5.      PKP PPN Pemanfaatan Barang Tidak Berwujud dari luar negeri;
6.      PKP PPN Jasa;
7.      PKP PPN Pemanfaatan Jasa dari luar negeri.
Fungsi di atas menentukan, karena PKP harus aktif melaporkan, memungut dan menyetor dan sebagainya. Karena yang berhadapan dengan PKP adalah Pembeli atau Penerima Jasa.
Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
PKP tidak terbatas pada pihak yang menyerahkan BKP atau JKP melainkan juga termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, orang pribadi tertentu, badan tertentu dan instansi Pemerintah yang ditunjuk.
Maka PKP dan yang ditunjuk adalah memungut PPN atau PPN dan PPnBM atas penyerahan BKP atau JKP yang berhak memungut ini termasuk orang pribadi atau badan yang melakukan pemanfaatan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean, dan orang pribadi atau badan yang melakukan pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Setiap melakukan pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM wajib membuat Faktur Pajak, yang disebut Faktur Pajak Keluaran sebagai bukti pemungutan. Khusus atas penyerahan BKP atau JKP langsung kepada konsumen akhir atau konsumen yang tidak dapat diidentifikasi dibuat Faktur Pajak Sederhana, walaupun tidak dapat digunakan sebagai Faktur Pajak Masukan.
Karena bervariasi, maka sebagai pihak yang berhak memungut dan melapor PPN atau PPN dan PPnBM juga bervariasi. Oleh karena itu, yang berkewajiban menyetorkan dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak meliputi:
1.      Pengusaha Kena Pajak;
2.      Bendaharawan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;
3.      Selain Bendaharawan Pemerintah, misalnya BUMN, BUMD, Pertamina, Bank-Bank Milik Pemerintah Pertamina dan sebagainya;
4.      PKP yang berkaitan dengan transaksi dengan Bulog;
5.      Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Para pemungut PPN atau PPN dan PPnBM setiap bulannya wajib melakukan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak, baik langsung dengan menyampaikan lembar ke-3 SSP, atau melalui penyampaian SPT Masa PPN dengan melampirkan lembar ke-3 SSP.
Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai
Maksud pemerintah memberikan kemudahan di bidang perpajakan khususnya PPN dan PPnBM adalah untuk memberikan fasilitas yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional.
Adapun fasilitas perpajakan yang dapat diberikan adalah;
1.      dibebaskan dari pengeluaran PPN.
pajak masukan atas perolehan BKP untuk menghasilkan penyerahan yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengeluaran PPN tidak dapat dikreditkan.
2.      tidak di pungut PPN.
Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP untuk menghasilkan penyerahan yang mendapat fasilitas pembebasan PPN/JKP yang terutang tidak dipungut PPN dan dapat dikreditkan.
Pemberian fasilitas perpajakan berupa pembebasan dari pengeluaran PPN yang diutamakan untuk impor dan atau penyerahan BKP serta penyerahan PKP untuk;
1.      mendukung pertahanan nasional
2.      mencerdaskan kehidupan bangsa
3.      mensejahterakan kehidupan bangsa
4.      meningkatkan kesehatan masyarakat
5.      mempertahankan pembangunan nasional
Sedangkan fasilitas tidak dikenakan PPN adalah untuk:
1.      mendorong ekspor.
2.      meningkatkan daya saing barang di pasar internasional.
3.      mengembangkan wilayah/daerah tertentu agar dapat menjadi sentra-sentra kegiatan ekonomi.
4.      mendorong pertumbuhan ekonomi.
5.      meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain.
Impor dan atau penyerahan BKP tertentu dan atau penyerahan JKP tertentu yang dibebaskan dari pengeluaran PPN berdasarkan PP No 146 Tahun 2000.
1.      BKP yang atas impornya dibebaskan dari pengeluaran PPN.
2.      BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengeluaran PPN.
3.      JKP tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengamanan PPN.
4.      Pajak Masukan yang di bayar untuk perolehan BKP dan atau perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengamanan PPN tidak dapat dikreditkan.
5.      PPN dan PPnBM tidak dipungut untuk Kawasan Berikat
6.      Pulau Batam
7.      Fasilitas Proyek Pemerintah yang dananya dari Bantuan Luar Negeri
8.      Pulau Karimun dan Bintan
9.      PPN dan PPnBM khususnya Pertamina
Restitusi
Restitusi adalah permintaan kembali atas kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. dalam hal PPN dan PPnBM maka restitusi terjadi akibat pajak Masukan yang dibayar lebih besar dari Pajak Keluaran yang dipungut dalam Masa Pajak.
Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Masukan (restitusi PPN) dapat dilakukan oleh semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk setiap masa pajak. Selama ini tidak semua PKP dapat mengajukan restitusi, karena hanya PKP yang berhubungan dengan Pemungut PPN dan PKP eksportir saja yang dapat meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak setiap Masa Pajak.
Sanksi dalam PPN dan PPnBM
Dalam rangka, baik masyarakat wajib pajak maupun aparatur perpajakan mematuhi kewajiban-kewajiban, sekaligus sebagai perwujudan unsur pajak dapat dipaksakan sebagaimana didefinisikan, maka dituangkan ketentuan sanksi perpajakan, termasuk yang berkaitan dengan sanksi bagi wajib pajak (PKP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Sanksi-sanksi dalam perpajakan terdiri dari:
1.      Sanksi administrasi yang meliputi:
1.      Sanksi berupa denda;
2.      Sanksi berupa bunga;
3.      Sanksi berupa kenaikan.
2.      Sanksi pidana perpajakan yang meliputi:
1.      Sanksi berupa yang bersifat pelanggaran;
2.      Sanksi pidana yang bersifat kejahatan.
Ketentuan tentang sanksi dan ketentuan formal lainnya tertuang dalam satu undang-undang yang disebut dengan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sebagaimana tertuang dalam UU No. 6 Tahun 1983 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 16 Tahun 2000. sedangkan pada undang-undang perpajakan sebelum tax reform, ketentuan sanksi dan ketentuan formal lainnya masuk ke dalam undang-undang pajak yang bersangkutan.
Terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban di bidang penyetoran PPN, melaporkan dengan menyampaikan SPT masa PPN, tidak mendaftarkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, tidak membuat faktur pajak, atau membuat faktur pajak yang tidak berhak, melunasi PPN tidak semestinya, dan sebagainya dikenakan sanksi administrasi, yaitu yang meliputi:
1.      berupa denda;
2.      berupa bunga;
3.      berupa kenaikan; denda, bunga dan kenaikan, secara menagihnya dilakukan menerbitkan SPT, SKPKB, SKPKBT dan seterusnya. Atas keputusan itulah timbul penagihan pajak.
Setiap tindakan melawan hukum oleh Wajib Pajak (PKP) yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara termasuk tindakan pidana perpajakan. Dilihat dari tingkatan kesalahan maka tindak pidana perpajakan meliputi tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan.
Tindak pidana perpajakan lainnya adalah:
1.      tindak pidana perpajakan residivis sebelum lewat 1 (satu) Tahun sejak selesainya menjalankan pidana penjara;
2.      mencoba mengajukan permohonan restitusi atau kompensasi pajak dengan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP;
3.      wakil, kuasa dan pegawai dari wajib pajak (PKP) termasuk mereka yang menyuruh melakukan, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa yang melakukan tindakan melawan hukum;
4.      siapa saja yang sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan.
Sanksi pidana perpajakan yang diancamkan adalah:
1.      Tindak pidana pelanggaran adalah pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) Tahun dan denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat jumlah pajak terutang yang tidak atau yang kurang dibayar;
2.      Tindak pidana kejahatan adalah pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) Tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar;
3.      Tindak pidana perpajakan residivis adalah pidana kurungan selama-lamanya (2) dua belas Tahun dan denda setinggi-tingginya 8 (delapan) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar;
4.      Tindak pidana pemohon restitusi atau kompensasi pajak dengan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP, menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap, adalah pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) Tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah restitusi/kompensasi yang dilakukan wajib pajak;
5.      Wakil, kuasa dan pegawai dari wajib pajak, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa atau disidik adalah pidana penjara selama-lamanya Rp5.000.000,00.
6.      Mereka yang menghalangi atau mempersulit penyidikan, adalah pidana penjara selama-lamanya tiga Tahun dan denda setinggi-tingginya Rp10.000.000,00.
Sanksi pidana pun dikenakan kepada para pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal pajak yang melakukan tindak pidana rahasia jabatan. Sanksi pidana yang diancamkan adalah pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) Tahun dan denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,00 dalam hal karena kealpaan, atau pidana penjara selama-lamanya dua Tahun dan denda setinggi-tingginya Rp5.000.000,00, dalam hal karena kesengajaan.
PPN Bendaharawan dan Perkembangannya
Sistem pemungutan PPN Bendaharawan dikenal sejak 2 Juni 1971, melalui Keputusan Menteri Keuangan No. KEP 402/WII/6/1971. Mekanisme pemungutannya bertentangan dengan mekanisme yang ditentukan dalam UU PPn 1951, yang menurut UU PPn 1951 yang, menjadi pemungut, penyetor dan pelapor adalah PKP Rekanan oleh Keputusan Menteri Keuangan tersebut diubah menjadi bendaharawan.
Oleh karena itu, dengan semangat law enforcement penerapan Undang undang sebagaimana mestinya), maka sejak diberlakukannya UU PPN 1984 pada 1 April 1985, sistem PPN Bendaharawan tersebut tidak diberlakukan.
Belum mencapai setahun, pengalaman menunjukkan bahwa sebagian PKP Rekanan yang berhubungan secara langsung dengan Kantor Perbendaharaan Negara tidak mampu melaksanakan UU PPN 1984 sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,. sejak 1 April 1986, melalui Keppres No. 9 Tahun 1986 ditunjuk Kantor Perbendaharaan Negara untuk menjadi Wajib Pungut. Sejak itu pula setiap Kantor Perbendaharaan Negara membayar tagihan PKP Rekanan harus memotong/memungut PPN Bendaharawan. Kemudian Kantor Perbendaharaan Negara menyetor dan melaporkan PPN yang telah dipungut dan disetorkan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Perkembangan berikutnya, sejak 1 Januari 1989, melalui Keppres No. 56 Tahun 1988, Wajib Pungut PPN Bendaharawan diperluas dengan Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik pada tingkat I maupun tingkat II.
Juga BUMN dan BUMD, Pertamina, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya baik di bidang Migas maupun Pertambangan Umum lainnya, Bank Bank pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah.
Untuk memantapkan dasar hukum dari sistem PPN Bendaharawan. Pasal 1 UU No. 11 Tahun 1994 ditambah dengan huruf x yang menentukan bahwa instansi Pemerintah dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak pertambahan nilai. Begitu pula Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1994, menentukan bahwa Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Bendaharawan BUMNBT ID dan badan badan lain yang melakukan pembayaran untuk barang dan jasa dari belanja negara dan/atau belanja Daerah ditetapkan sebagai Wajib Pungut,
Menghitung Pajak Pertambahan Nilai Bendaharawan
Yang diwajibkan untuk menghitung memungut dan menyetor PPN dan PPnBM Bendaharawan adalah:
1.      Kantor Perbendaharan dan Kas Negara;
2.      Bendaharawan Pemerintah Pusat, baik Departemen maupun lembaga;
3.      Bendaharawan Pemerintah Daerah, baik tingkat I maupun tingkat II.
Tagihan tagihan yang dibayar dan dipungut PPN dan PPnBM adalah tagihan dibayar dengan uang yang dibayar dari belanja negara dan/atau belanja Daerah.
Untuk menghitung besarnya PPN dan PPnBM pengertian harga jual atau penggantiannya adalah inclusive PPN dan PPnBM. Saat terutangnya adalah pada saat pelunasan (Cash Stelsel/Cash Basic). Tarifnya tunggal dan proporsional, kecuali PPnBM bertingkat dari 10% (sepuluh persen) sampai dengan 350% (tiga puluh lima persen).
Agar tidak terjadi pemungutan berganda ditentukan delapan butir tagihan yang tidak boleh dipungut PPN Bendaharawan.
Pajak Pertambahan Nilai Badan-badan Tertentu
Selain Bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), juga beberapa badan tertentu ditunjuk sebagai pemungut pajak pertambahan nilai sebagaimana dituangkan dalam Keppres No. 56 Tahun 1988.
Badan badan tertentu dimaksud adalah Pertamina, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil di bidang Migas, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil di bidang Pertambangan Umum Lainnya, Kontraktor Kontrak Karya di bidang Migas, Kontraktor Kontrak Karya di bidang Pertambahan Umum Lainnya, BUMN dan BUMD dengan nama atau dalam bentuk apa pun, Bank-bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah.
Dalam menghitung besarnya PPN terutang mengenal harga jual atau penggantian exclusive, artinya belum/tidak termasuk PPN atau PPN dan PPnBM. Saat terutangnya adalah pada saat pelunasan, atau pembayaran. Dan tarif pajaknya yaitu proporsional dan tunggal, yakni 10% (sepuluh persen). Sedang tarif PPnBM, bertingkat adalah 0%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 35%.
Dalam hal terjadi transaksi antara badan badan tertentu yang ditunjuk, maka yang berkewajiban memungut adalah badan yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP. Tetapi apabila berhadapan dengan Bendaharawan, semua harus tunduk dengan wewenang Bendaharawan yang memungutnya.
Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan Ekspor Barang Kena Pajak
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Bea dan Cukai. Dalam impor Barang Kena Pajak ini siapa pun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak. Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 ditetapkan bahwa eksportir dapat dikenakan pajak apabila memenuhi syarat antara lain:
1.      yang diekspor adalah Barang Kena Pajak;
2.      kegiatan ekspor harus dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
3.      eksportir harus sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena pajak.
Adapun objek dari ekspor Barang Kena Pajak adalah
1.      kegiatan ekspor yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan eksportir selaku pemilik kuota. Di sini objek pajaknya adalah kegiatan ekspor tersebut;
2.      kegiatan ekspor yang dilakukan oleh eksportir selaku pemilik kuota untuk kepentingan eksportir lain selaku pemilik barang (handling ekpor). Dalam hal ini eksportir pemilik barang memberikan sejumlah imbalan kepada pemilik kuota. Objek PPN di sini adalah jasa keagenan yang diberikan pemilik barang kepada pemilik kuota.
3.      Dalam hal impor Barang Kena Pajak, objeknya adalah:
4.      kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang langsung dilakukan oleh dan untuk kepentingan importir yang bersangkutan adapun objek PPN-nya adalah kegiatan importir Barang Kena Pajak;
5.      kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak yang dilakukan untuk kepentingan pihak lain selaku indentor. Kegiatan ini dinamakan impor inden. Sebagai objek pajaknya disamping kegiatan impor juga penyerahan jasa keagenan yang dilakukan oleh importir.
Sedangkan subjek Pajak Pertambahan Nilai dari kegiatan Impor dan ekspor Barang Kena Pajak adalah
1.      orang atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar ke dalam Daerah Pabean. Dalam hal ini syarat utama bagi yang melakukan impor haruslah importir;
2.      orang atau badan yang melakukan kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak dari dalam ke luar Daerah Pabean. Karena yang diekspor adalah Barang Kena pajak, maka yang melakukan haruslah eksportir yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah dan Tanah oleh Real/Industrial Estat dan atas Kegiatan Membangun Sendiri
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam UU Perpajakan adalah diberlakukannya dan ditetapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Dalam Pasal 16B ayat (1) huruf h disebutkan bahwa negara menjamin tersedianya perumahan yang terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana, maka dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 524/KMK.03/2001 tanggal 1 Oktober 2001 ditetapkan batasan dari rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan lainnya yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Sedangkan pembangunan rumah murah dapat dilakukan oleh Perum PERUMNAS atau pengembang lainnya.
Pembebasan PPN tidak berlaku dalam hal rumah sederhana dan rumah sangat sederhana diserahkan melalui penjualan tunai atau melalui penjualan Cicilan bertahap yang disediakan oleh pengembang atau pihak lain seperti perusahaan terdapat tempat pemohon bekerja.
Sedangkan pengenaan PPN 1984 yang telah diubah atas kegiatan membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000 di mana kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dikenakan PPN dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan PPN. Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri, maka diatur dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 yang berisi tentang syarat-syarat kegiatan membangun sendiri di Kawasan Real Estat diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-07/PJ.32/1997.
PPN atas Jasa-jasa Tertentu
Jasa merupakan kegiatan pelayanan berdasar suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Sedangkan Jasa Kena Pajak (JKP) merupakan jasa yang dikenakan pajak berdasarkan UU, dan penyerahan JKP terjadi setiap kegiatan pemanfaatan JKP baik di dalam Daerah Pabean maupun di luar Daerah Pabean.
Beberapa jasa yang mendapat perlakuan/pengenaan PPN antara lain:
1.      Jasa Custodian
Merupakan jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu perjanjian (kontrak). Jasa ini antara lain
1.      jasa penitipan
2.      jasa settlement
3.      jasa corporate actions
4.      jasa registrasi
Jasa custodian yang merupakan objek PPN adalah jasa custodian berupa jasa penitipan. Sedangkan jasa yang lain hanya dapat dilakukan oleh perusahaan bank, dan tidak dapat dilakukan oleh perusahaan di luar bank.
2.      Jasa Anjak Piutang
Merupakan badan usaha yang melakukan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan baik di dalam atau di luar negeri. Jasa ini terbagi atas:
1.      jasa non financing
2.      jasa financing
Kegiatan anjak piutang dapat dilakukan oleh Bank, Lembaga Keuangan bukan bank, dan Perusahaan Pembiayaan berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. Imbalan yang diterima perusahaan anjak piutang yang berasal dari klien berupa:
3.      service charge
4.      provisi
5.      diskon
Pencatatan dilakukan secara accrual, sehingga saat penandatanganan Perjanjian Pembiayaan merupakan saat pajak terutang Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah imbalan yang diterima. Sedangkan Pajak Masukan sehubungan dengan kegiatan anjak piutang tidak dapat dikreditkan.
3.      Jasa Wali Amanat
Merupakan jasa corporate trustee skip/agency yaitu Book umum dan pihak lain yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah untuk mengadministrasikan, mendaftarkan, dan atau mengalihkan surat-surat berharga yang dimilikinya.
Atas penyerahan jasa wali amanat yang dilakukan oleh perusahaan di bidang perbankan merupakan Jasa Kena Pajak dan terutang PPN.
4.      Jasa Periklanan
Kegiatan perusahaan periklanan terdiri atas:
1.      Pembuatan materi iklan
2.      Pemasangan iklan di media
3.      Konsultasi

Dasar pengenaan PPN atas kegiatan Jasa Periklanan yang diterima oleh perusahaan iklan adalah kegiatan pembuatan materi iklan.
5.      Paket Program Acara Televisi
Yang dimaksud dengan paket program acara di televisi adalah semua acara yang ditayangkan di televisi yang melibatkan pihak lain yang bertujuan komersial termasuk di dalamnya sinetron, kuis dan lain-lain.
Paket Program Acara Televisi terdiri dari
1.      Sistem beli putus
2.      Dasar pengenaan pajaknya adalah harga jual
3.      Sistem pesanan
4.      Dasar pengenaan pajaknya adalah penggantian
5.      Sistem bagi hasil

Objek pajaknya adalah BKP tidak berwujud berupa penyerahan hak siar atas paket program. Dasar pengenaan pajak untuk menghitung pajak terutang adalah sebesar persentase bagi hasil yang diterima oleh rumah produksi berdasarkan kontrak yang sudah disepakati. Pajak Masukan dalam rangka pembuatan program acara yang berkenaan dengan pajak yang terutang, dapat dikreditkan.
6.      Jasa Sertifikasi
Jasa sertifikasi merupakan kegiatan pemberian pengakuan atas pemenuhan aspek kualitas sesuai dengan standar yang telah yang telah ditetapkan atas suatu produk dan/atau jasa baik yang dilakukan oleh lembaga di dalam negeri seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) atau juga oleh lembaga-lembaga luar negeri seperti International Organization for Standardization, International Electrotechnical Commission (IEC) dan sebagainya. Adapun sertifikasi yang diberikan antara lain dalam bentuk Sertifikasi Personel, Sertifikasi Sistem Mutu, Sertifikasi Hasil Uji dan Sertifikasi Inspeksi Teknik. Atas penyerahan jasa sertifikasi oleh pihak yang menerima jasa memberi imbalan atau penggantian kepada lembaga yang bersangkutan dalam bentuk biaya sertifikasi, biaya konsultasi, dan biaya pengujian. Atas penyerahan jasa sertifikasi di dalam negeri terutang PPN sedangkan pemanfaatan jasa sertifikasi dari luar negeri dikenakan PPN.
7.      Jasa Penelitian
Jasa penelitian yang dilakukan oleh pemerintah dikenakan PPN sepanjang dana tersebut
1.      bukan berasal dari dana APBN atau APBD
2.      dilakukan oleh lembaga nonpemerintah
8.      Jasa Pengelolaan Rumah Susun
Jasa yang dilakukan oleh pengelola rumah susun ada yang dikenai PPN ada yang tidak
Yang tidak terutang PPN adalah
1.      pengelolaan yang diselaraskan dengan kegiatan RT/RW yang bergerak di bidang kemasyarakatan.
2.      usaha yang peredarannya dalam satu tahun tidak melebihi batasan pengusaha Kecil.
Jasa yang terutang PPN adalah
3.      kegiatan yang dikelola dan sudah menjadi badan hukum dan sudah dilakukan secara profesional.
4.      jasa yang dilakukan oleh Pengembang dalam mengelola rumah susun selama Perhimpunan Penghuni Rumah Susun belum terbentuk.
9.      Jasa Perdagangan termasuk E-Commerce
10.  PPN atas Jasa Telekomunikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar